Readtimes.id—Kabar simpang siur pajak sembako yang sempat bocor ke publik pada April lalu kini telah resmi diajukan Mentri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani kepada Komisi XI DPR RI pada Senin, (13/9).
Kebijakan pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok atau sembako dituliskan dalam dokumen atas revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Sejak isu ini mencuat ke publik, berbagai kalangan beramai-ramai menolak dan mengkritik atas keputusan ini. Pasalnya, pajak ini ditakutkan akan mempengaruhi harga sembako di tengah peperangan melawan pandemi.
Seolah angin lalu, berbagai kritik dan kontra itu tak mengubah putusan pemerintah untuk tetap melanjutkan rancangan pajak sembako ini. Meski demikian, Menkeu dalam pengajuannya ke DPR mengatakan bahwa tak semua barang sembako akan dipungut pajak dan pemerintah juga berpeluang memberikan kompensasi bagi masyarakat tak mampu.
Pemerintah juga menerangkan bahwa PPN tidak akan diberlakukan pada kebutuhan pokok yang dijual di pasar tradisional. PPN hanya akan berlaku pada bahan pokok premium, di mana harga jualnya jauh dari pasar tradisional.
Dalam draf beleid pengenaan pajak yang diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU Nomor 6, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Artinya, daftar yang dihapuskan akan dikenakan PPN.
Sembako atau jenis-jenis kebutuhan pokok yang paling dibutuhkan masyarakat dan tak dikenakan PPN itu sendiri sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.
Barang tersebut meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi. Sedangkan hasil pertambangan dan pengeboran yang dimaksud adalah emas, batu bara, hasil mineral bumi lainnya, serta minyak dan gas bumi.
Lantas apakah putusan PPN untuk beberapa sembako ini akan tetap memberi dampak pada masyarakat kecil?
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai keputusan pemerintah ini dapat mempengaruhi harga pangan di pasar tradisional.
“Ini perlu diantisipasi, saya khawatir karena tidak ada jaminan dari pemerintah jika kebijakan PPN sembako ini diberlakukan ketakutannya mempengaruhi harga pangan keseluruhan,” jelas Yusuf.
Dampak dari PPN Sembako ini ditafsir akan meluas ke pasar tradisional. Tidak menutup kemungkinan kenaikan harga akan ikut terjadi pada sembako di pasar tradisional.
“Contohnya bisa saja kan pedagang berpikir, daging di supermarket naik. Nah tidak apa-apa kalau saya menaikkan harga daging di pasar seribu dua ribu rupiah, toh masyarakat juga gak ada pilihan lain, mau beli di mana lagi? Kenaikan tidak besar, nah efek psikologi pedagang ini yang ditakutkan,” ungkap Yusuf.
Bila harga pangan lainnya ikut naik, inflasi pun tak terhindarkan. Dengan demikian, beban yang dipikul masyarakat kecil untuk memenuhi kebutuhan pokoknya semakin berat.
Dampak kelanjutannya adalah, jika harga naik, maka konsumsi masyarakat juga akan berkurang. Artinya, jika konsumsi turun, maka pertumbuhan ekonomi akan melandai atau bahkan kembali minus.
Pemerintah dituntut untuk tidak selalu berfokus pada rencana-rencana penambahan objek pajak baru, karena masalah yang lebih serius untuk diselesaikan adalah membenahi struktur ekonomi di Indonesia.
Tambahkan Komentar