Readtimes.id– Penyelesaian kasus penagihan utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) masih terus berlangsung hingga saat ini. Penyelesaiannya pun dinilai lamban, mengapa demikian?

BLBI adalah pinjaman uang yang diberikan dari Bank Indonesia kepada sejumlah bank yang gagal mengembalikan dana nasabah, atau hampir bangkrut ketika krisis moneter 1998.
Kala itu, perbankan nasional sedang dalam titik terendah, imbas penurunan nilai rupiah terhadap dollar dan pengelolaan serta pengawasan bank yang tidak berjalan baik.
Kasus debitur dan obligor terhadap BLBI tak kunjung usai. Saat ini pihak pemerintah akan serius dan mengusut untuk mengembalikan kembali uang dan aset milik negara .
Perusahaan-perusahaan yang tengah memiliki hutang dan telah sekarat dan ditutupi oleh negara sudah diberikan surat pengakuan hutang. Namun, pengusutan kasus BLBI kerap maju-mundur sejak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian negara mencapai Rp138 triliun pada Agustus 2000.
Negara selalu kesulitan mengejar para pejabat/konglomerat hingga politisi yang terlibat skandal BLBI. Lucunya, saat Adrian Kiki Ariawan yang pada saat menerima bantuan likuiditas menjabat sebagai Direktur Bank Surya dijatuhi vonis seumur hidup oleh pengadilan tahun 2003. Sayangnya, pada saat vonis dibacakan, Adrian memilih kabur ke Australia dan baru kembali ke tanah air pada 2014.
Saat ini, pemerintah masih berusaha menyeret nama-nama seperti Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, Samadikun Hartono, Lesmana Basuki, Sherni Kojongian, Hendro Bambang Sumantri, Edy Djunaedi, Ede Uto, Toni Suherman, Bambang Sutrisno, Harry Mattalata, Nader Taher, hingga Dharmono K Lawi merupakan pejabat dari beberapa bank yang tersangkut kasus BLBI.
Beberapa nama juga diusulkan oleh ICW sebagai saksi kunci agar kasus ini cepat selesai. Mantan Presiden Megawati menjadi salah satu nama yang diusulkan.
Kendati demikian, kasus BLBI justru semakin melebar, seakan penuh dengan kepentingan. Saat Syafruddin Arsyad Temenggung ditetapkan sebagai tersangka akibat penyelidikan dari Kejaksaan Agung pada tahun 2007 tentang dugaan penyimpangan penerbitan SKL pada buron Sjamsul Nursalim.
Jaksa Urip Tri Gunawan yang kala itu bertugas sebagai Ketua Tim Penyelidikan kasus BLBI justru menerima suap dari Artalyta Suryani yang disebut sebagai orang dekat Sjamsul Nursalim dengan mahar Rp 6 miliar. Fokusnya pun bergeser, publik tak lagi memperhatikan BLBI. Urip akhirnya mendekam di penjara selama 20 tahun, sementara Artalyta juga ikut merasakan dinginnya jeruji besi selama 5 tahun.
Kekecewaan publik memuncak ketika putusan MA yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung pada Selasa 9 Juli 2019. Dalam keputusan sidang kasasi, MA menyatakan bahwa Syafruddin memang terbukti melakukan tindakan seperti yang didakwakan oleh jaksa, namun hakim memiliki pendapat bahwa perbuatannya tidak dikategorikan sebagai tindak pidana.
Publik saat ini menanti keseriusan pemerintah. Meski telah membentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI yang termaktub pada Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021.
Pasalnya, publik sempat kecewa saat penerbitan SP3 dalam kasus Sjamsul yang ditaksir merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun. Tentu saja, kasus Sjamsul adalah satu dari sederet 48 pemilik bank yang terindikasi melakukan penyelewengan.
Satgas juga telah memanggil sejumlah nama untuk menuntaskan kewajibannya. Yang paling menyorot perhatian tentu pemanggilan putra bungsu mendiang Presiden Soeharto, Tommy Soeharto selaku pengurus PT Timor Putra Nasional pada 26 Agustus 2021 kemarin.
Satgas juga telah memanggil Agus Anwar yang memiliki utang Rp 104,63 miliar, Kaharudin Ongko yang berutang Rp 8,18 triliun, Kwan Benny Ahadi dengan nilai utang Rp 157,72 miliar, Setiawan dan Hendrawan Harjono dengan utang Rp 3,57 triliun, PT Era Persada dengan utang Rp 130 miliar; dan mantan direktur utama PT Timor Putra Nasional Ronny HR dengan utang Rp 2,61 triliun.
Ekonom sekaligus Direktur Riset Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, berharap kesungguhan pemerintah dalam penyelesaian kasus ini melalui Satgas.
“Satgas sangat kita harapkan bisa lebih tegas. Pemerintah sudah menunjukkan niatnya untuk lebih bersungguh-sungguh menyelesaikan permasalahan BLBI. Seharusnya itu ditunjukkan dengan ketegasan dalam menghadapi para obligor termasuk menindaklanjuti apabila ada obligor yang tidak kooperatif,” ungkapnya.
Piter mangatakan niat kesungguhan pemerintah sudah ada, hanya butuh pelaksanaan yang disiplin. Mahfud MD juga sudah mangatakan bahwa pemerintah memiliki berbagai bukti termasuk surat-surat pengakuan utang.
Kendati demikian, Piter mengatakan penyelesaian BLBI ini tidak mudah karena obligor juga memiliki banyak taktik.
“Saya yakin tidak akan mudah menyelesaikan kasus BLBI ini. Obligor tidak Akan menyerah begitu saja. Perlawanan hukum dari mereka pasti akan alot dan membutuhkan proses dan waktu yang panjang,” ungkapnya.
Obligor dinilai memiliki kekuatan dan uang, selain itu mereka juga memiliki banyak informasi yang bisa dimainkan secara hukum dan politik. Hal inilah pemicu sulitnya menangani para obligor tak bertanggung jawab itu.
Tambahkan Komentar