RT - readtimes.id

Bea Masuk Pakaian Impor Selamatkan Industri Tekstil RI

Readtimes.id—Pemerintah mulai memperketat kegiatan impor barang mulai dari kertas sigaret, kertas plug wrap non-porous, ubin keramik, pakaian, hingga kini yang terbaru, pemerintah mengeluarkan aturan bea masuk pakaian impor.

Pengetatan tertuang dalam PMK Nomor 142 Tahun 2021 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Pakaian dan Aksesori Pakaian. Besarannya sekitar Rp19 ribu hingga Rp63 ribu per potong untuk tahun pertama.

Aturan ini berlaku selama tiga tahun dan besaran bea masuk yang dikenakan berangsur turun. Beberapa produk yang dikenakan, antara lain segmen atasan kasual, atasan formal, bawahan, setelah, ensemble, gaun, outwear, pakaian dan aksesori pakaian bayi, headwear, dan neckwear.

Pengetatan ini dilakukan pasalnya, menurut data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) total impor pakaian jadi pada 2020 sebesar US$627,4 juta. Angka tersebut memang turun jika dibandingkan dengan 2019 yang mencapai US$849,7 juta.

Meski demikian, jika dilihat dari 2015 angka impor pakaian jadi memang terus naik. Rinciannya, impor pakaian jadi pada 2015 sebesar US$401,5 juta, pada 2016 sebesar US$410,5 juta, pada 2017 sebesar US$576,9 juta, pada 2018 sebesar US$815,2 juta, pada 2019 sebesar US$849,7 juta, dan 2020 sebesar US$627,4 juta.

Total impor pakaian mencapai US$421,13 juta sejak awal 2021 hingga hari ini. China masih mendominasi dengan nilai impor US$225,84 juta dan pangsa pasar 53,63 persen. Setelah itu, ada Vietnam dengan nilai impor sebesar US$38,2 juta, Bangladesh US$37,11 juta, Turki US$15,5 juta, dan Hong Kong US$13,34 juta.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan peningkatan impor produk pakaian jadi membuat industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dalam negeri semakin terancam.

“Serbuan impor ini sangat menganggu industri kecil dan menengah, karena akan menyulitkan pemasaran produk-produk dalam negeri,” kata Enny dalam webinar yang digelar di Jakarta, Kamis.

Enny mengatakan, kebijakan impor pakaian jadi menjadi sentimen buruk bagi investasi dan berdampak pada neraca perdagangan, sehingga berpotensi melemahkan konsumsi. Hal ini disebabkan karena pemerintah masih memberlakukan tarif bebas bea masuk untuk sektor ini.

Ia mengkhawatirkan, jika kebijakan impor dipertahankan maka pertumbuhan industri TPT di tahun-tahun mendatang akan terus negatif. Sehingga dengan adanya aturan bea masuk bagi produk tekstil akan membantu menangani permasalahan ini

“Jika industri TPT terus mengalami penurunan penjualan karena pandemi COVID-19, ditambah lagi dengan maraknya produk impor pakaian jadi, maka akan berimbas pada pemulihan ekonomi di masyarakat,” katanya.

Menurut dia, industri TPT di Indonesia melibatkan tenaga kerja yang sangat besar, sehingga diperlukan adanya keberpihakan dari pemerintah di sisi regulasi.

“Pemerintah perlu memberikan perlindungan pasar dalam negeri dari impor yang berlebihan. Hal ini dinilai akan memberikan kepastian pasar bagi industri TPT dalam negeri, khususnya industri kecil dan menengah,” katanya.

Menurut data BPS, pada tahun 2020 ekspor tekstil senilai 10,55 miliar dolar AS, sementara impor senilai 7,20 miliar dolar AS. Meskipun surplus, INDEF menyoroti komposisi ekspor impor TPT tahun 2020 tersebut paling banyak didominasi adalah pakaian jadi, dibanding benang, serat, dan bahan baku tekstil lainnya.

Pakaian jadi dalam negeri kebanyakan diproduksi oleh UMKM, bukan industri besar. Mayoritas pembelinya adalah kelompok menengah dan menengah ke bawah. Jika pakaian impor kena ekstra bea masuk, otomatis harga yang dijual ke konsumen akan naik. Hal itu akan membuat perbedaan harga pakaian impor dan lokal semakin tipis atau bahkan sama.

Masyarakat yang biasanya membeli pakaian impor berpotensi melirik pakaian lokal karena harganya tak jauh berbeda. Namun, masyarakat yang dimaksud adalah mereka yang berada di kelompok menengah dan menengah ke bawah.

Saat ini, rata-rata utilisasi industri pakaian jadi baru di level 80 persen. Dengan berlakunya aturan tersebut, diharapkan dapat mengerek utilisasi industri pakaian menjadi lebih dari 95 persen pada akhir 2021.

I Luh Devi Sania

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: