
Readtimes.id – Koran Tempo mengumumkan penghentian produksi media cetaknya. Per 1 Januari 2021, Koran Tempo secara penuh bertransformasi menjadi media digital (online).
Koran Tempo tentu saja bukan yang pertama. Bertahun-tahun sebelumnya, deretan media cetak ternama di Amerika sudah memulai aksi gulung tikar. Mereka diantaranya Tribune Co, The New York Times, Newsweek Magazine, Reader’s Digest Magazine, Rocky Mountain News.
Alasannya satu, kesulitan keuangan akibat oplah yang terus menurun.
Riset terbaru AC Nielsen pada Agustus 2020 lalu menemukan jumlah pembaca meda versi online saat ini jauh lebih banyak ketimbang versi cetak. Hal ini seiring berkembangnya teknologi dan stigma masyarakat bahwa informasi seharusnya tak berbayar.
Executive Director Nielsen mengatakan saat ini, media cetak hanya menjadi pilihan kelima masyarakat untuk mendapatkan informasi dengan penetrasi sebesar 8%. Urutan pertama ditempati televisi dengan 96%, diikuti papan iklan di jalanan 52%, penggunaan internet sebesar 43% dan radio sebanyak 37%.
Tapi New York Times tak berhenti disitu. Mereka cepat beradaptasi ke mode online. Walhasil, media cetak yang dulunya memiliki oplah terbesar itu, kini menggaet 3.42 juta pelanggan berita digital hingga akhir 2019.
Mengekor New York Times, The Wall Street Journal (WSJ) awal tahun 2020 kemarin berhasil menggaet 2 juta pelanggan digital.
Salah satu startegi WSJ bisa mengejar The New York Times adalah model bisnis media online berbayar, dan berhasil meningkatkan jumlah pelanggan sebesar 13% pada kuartal keempat tahun 2019. Unit penerbit perusahaan yakni Dow Jones, juga mencapai 3,5 juta pelanggan digital. Grup media perusahaan, News Corp, mengatakan bahwa pendapatan pun telah meningkat.
WSJ yang memiliki pembaca berlatar belakang keuangan dan bisnis menarik biaya berlangganan US$ 39 per bulan. Sedangkan, The New York Times dengan pembaca lebih umum menarik sekitar US$ 18 per bulan.
Di Indonesia, media online yang menerapkan sistem berbayar langganan masih sedikit, diataranya Kompas, Bisnis, Tempo, Detik. Itupun hanya berlaku untuk berita-berita tertentu. Banyak media online kecil yang sulit bertahan dengan model bisnis itu. Alasannya mereka belum punya bargaining untuk memungut tarif dari pembaca.
Pengamat media dan dosen Universitas Multimedia Nusantara Ignatius Haryanto, mengatakan transformasi media online memang harus diikuti dengan inovasi dan menjaga kualitas konten. Berharap dari iklanpun pendapatannya tak sebesar tarif iklan di media cetak.
Belum lagi media online harus berbagi cerum pasar iklan dengan aplikasi media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, yang tentu saja punya pengunjung jaih lebih besar.
Namun ada kabar baik bagi media online. Seperti dilansir Reuters, Google sebagai mesin pencari terbesar dunia bersedia membayar perusahaan media atas konten berita yang muncul di hasil pencariannya. Produk itu bernama Google News Showcase.
Sebelumnya, Google sempat bersitegang dengan media dan menolak membayar. Alasannya, mesin pencari Google telah ikut mendongkrak jumlah pengunjung di media-media. Namun belakangan Google mengalah. Hanya saja Google punya syarat; media yang dibayar adalah yang berlisensi dan memliki konten berkualitas.
Belum ada gambaran kapan Google akan meluncurkan produk itu di Indonesia.
Tambahkan Komentar