RT - readtimes.id

Online versus Offline, Siapa yang Menang?

Readtimes.id – Mungkin tak ada yang menyangka taxi Express bisa bangkrut. Perusahaan yang merajai jasa transportasi darat di Jakarta sejak tahun 1990 an itu akhirnya dipaksa bertekuk lutut oleh taksi online yang kian menjamur.

Dari laporan keuangan publik, emiten yang berkode TAXI di pasar saham itu hanya mencicipi laba di tahun 2015. Itupun angkanya sangat kecil; 34 miliar rupiah. Tahun-tahun selanjutnya Taxi Express rugi berkenpanjangan, bahkan hingga 830 miliar di tahun 2018.

Nasib yang sama juga menimpa Blue Bird. Perusahaan taksi yang sebenarnya lebih tua dari Express itu tak berdaya dihajar taksi online. Meski tak separah Express, laba Blue Bird terus turun sejak tahun 2016 hingga 2018. Blue Bird terakhir mencicipi pendapatan yang cukup baik di tahun 2015, tahun dimana taksi online mulai bermunculan.

Kamu tahu berapa jumlah taksi konvensional hingga tahun 2018? Hanya tersisa 9.700 unit dari sebelumnya 25.550 unit. Sementara di tahun yang sama, taksi online berjumlah 170.000 unit.

Kekalahan taksi konvensional dari taksi online bukan hal yang sulit dibaca. Taksi online datang dengan sejumlah fitur dan inovasi luar biasa; kemudahan pemesanan, keterbukaan, layanan keluhan pelanggan, kepastian harga, dan lain-lain. Inovasi yang tidak pernah dilakukan taksi konvensional selama puluhan tahun.

Kamu tak perlu takut tagihan akan membengkak karena macet. Harga sudah tertera di awal dan tak akan berubah bahkan jiks terjadi badai sekalipun. Kamu tidak perlu repot menjelaskan lokasi penjemputan. Fitur Maps akan menuntun supir ke alamat yang kamu minta. Kamu tidak perlu khawatir uang kembalian yang kurang karena masalah teknis. Taksi online menyediakan fitur pembayaran lewat aplikasi.

Dengan inovasi ini, siapapun bisa menebak, taksi konvensional (offline) tak akan berumur panjang.

Taksi konvensional bukannya tinggal diam. Tahun 2016, Express meluncurkan aplikasi myTrip untuk nemudahkan proses pemesanan seperti milik taksi online. Selain itu, Express ikut numpang di aplikasi Uber. Blue Bird juga cepat-cepat berafiliasi dengan gojek. Mereka berusaha menyamai standar fitur taksi online.

Tapi persoalan dasarnya bukan hanya itu. Masalah utamanya adalah harga. Taksi online mematok tarif jauh lebih murah dari taksi konvensional. Alasannya masuk akal; biaya operasional mereka tidak besar. Tak ada maintenance kendaraan karena armada milik pribadi mitra. Mereka tak membangun pool taksi yang memakan biaya besar. Mereka tak perlu bayar pajak untuk plat kuning. Mereka tak perlu membebankan ppn untuk konsumen karena regulasi tidak mengharuskannya.

Satu lagi. Jasa taksi bukan satu-satunya sumber pendapatan taksi online. Mereka mampu mengekspansi lini bisnis lain, sebut saja pengantaran makanan, jasa pijat, pengiriman barang dalam kota, hingga layanan kebersihan ruangan. Semua layanan itu hanya butuh beberapa klik, dan sifat malasmu tentu saja.

Di masa pandemi, metamorfosis ke digital (online) adalah keniscayaan yang tak bisa menuggu waktu lagi. Jika perusahaan sebesar Express dan Blue Bird saja bisa kalah, apalagi yang sekelas UMKM. Sepanjang tahun 2020, 63 persen dari 64 juta UMKM terdampak. Dari angka itu, baru sekitar 50 persen yang mampu menciptakan inovasi kreatif. UMKM harus mampu beradaptasi dengan tren dan pola baru konsumsi masyarakat.

Avatar

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: