Readtimes.id—Rencana penghapusan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin Premium dan bensin Pertalite yang dijadwalkan pada 2022, kini tengah dibahas dan masih menunggu disahkannya Peraturan Presiden.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati buka suara terkait rencana tersebut yang akan dilakukan secara bertahap dengan sejumlah pertimbangan.
Nicke mengungkapkan rencana itu sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P20/Menlhk/Setjen/Kum1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang.
“Ketentuan dari Ibu Menteri KLHK 2017, ini untuk mengurangi karbon emisi maka direkomendasikan BBM yang dijual minimum RON 91,” ungkap Nicke di Istana Wakil Presiden.
Menurutnya, kini kesadaran masyarakat untuk menggunakan BBM yang lebih berkualitas dan lebih ramah lingkungan semakin tinggi. Terlihat dari penyerapan bensin Premium oleh masyarakat yang semakin menurun dan emisi karbon yang bisa semakin ditekan.
Kendati demikian, perseroan tidak akan serta merta menghapus Pertalite. Namun, perseroan akan melanjutkan edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan BBM yang ramah lingkungan dan lebih baik untuk mesin.
Baca Juga : Premium Hilang, Pertalite Mengembang
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan masih dibutuhkan transisi untuk mendorong masyarakat mengkonsumsi BBM dengan kualitas lebih baik, seperti penggunaan Pertalite yang diharapkan bisa menggantikan Premium saat ini.
Dia menuturkan, Pertalite menjadi pilihan masyarakat karena kualitasnya yang lebih baik dengan harga terjangkau. Untuk itu, perlu kesiapan pemberian subsidi untuk Pertamax jika pemerintah berencana menghentikan penjualan Premium dan diikuti dengan disetopnya penjualan Pertalite.
“Kita bisa liat pemerintah Malaysia memberikan subsidi kepada penggunaan BBM RON tinggi. Nah mumpung revisi UU Migas belum selesai, bisa dimasukan soal petroleum fund, yakni dana yang bisa digunakan dalam berbagai macam kegiatan, seperti untuk membantu masyarakat saat harga minyak dunia tinggi, untuk kegiatan explorasi mencari cadangan migas baru, dan membantu pengembangan EBT,” ujarnya.
Mamit mendukung rencana penghentian penjualan BBM jenis Premium di Indonesia, karena dinilai sebagai salah satu bentuk implementasi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 20/2017 yang mensyaratkan standar minimal RON 91 untuk produk gasoline dan CN 51 untuk gasoil sesuai dengan standar EURO 4.
Dengan demikian, Premium memang dihapuskan dalam penjualan dengan harapan pelan-pelan Indonesia bisa beralih ke BBM dengan RON tinggi, maka akan sangat membantu mengurangi polusi.
“Terkait dengan rencana penghapusan Premium, saya kira ini merupakan langkah yang sudah tepat,” ujarnya.
Saat ini sudah ada beberapa negara yang sudah tidak menggunakan bensin Premium. Daerah tersebut hanya menggunakan bensin Pertalite dan Pertamax Series dengan alasan Ron 90 ke atas lebih hemat dan lebih irit untuk konsumen. Begitu pun dengan dunia, kini hanya tinggal tujuh negara yang masih menjual bensin Premium (RON 88).
Ketujuh negara itu adalah Bangladesh, Kolombia, Mesir, Mongolia, Ukraina, Uzbekistan, dan Indonesia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira melihat rencana ini sebagai upaya ekonomi untuk melakukan penghematan akibat membengkaknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Selain itu, Bhima menuturkan Premium memang sudah hampir hilang sehingga jika dihapus tidak akan berdampak banyak bagi masyarakat. Namun, pemerintah juga harus memerhatikan konsumen BBM Premium merupakan kalangan kurang mampu.
“Pemerintah mungkin perlu menambah bantuan kepada mereka yang kurang mampu terbiasa pake premium/pertalite agar daya beli juga bisa terbantu jika nantinya harus beli pertamax,” ujar Bhima.
Secara faktual realisasi dari BBM premium itu dalam tiga hingga empat tahun terakhir sudah berkurang secara signifikan. Masyarakat akhirnya terpaksa membeli pertalite yang harganya lebih mahal.
Meski demikian, efek domino akan muncul dari rencana penghentian penjualan Premium dan Pertalite dari pasaran, sehingga perlu adanya mitigasi yang disiapkan pemerintah untuk bisa merealisasikan rencana itu.
Apabila kedua jenis BBM tersebut dihapuskan, maka akan ada beban masyarakat yang harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk kebutuhan energi. Dari situ, akan menimbulkan kenaikan-kenaikan harga, baik dari sisi transportasi dan juga bahan pokok.
Pemerintah juga bisa memberikan penugasan kepada pertamina untuk menjaga BBM non subsidi tidak berubah sepanjang 2022 dan memberikan fleksibilitas kepada Pertamina apabila nantinya hanya akan menjual BBM RON 92 ke atas. Pertamina secara konsisten juga diberikan keleluasan dalam menyesuaikan harga sesuai dengan harga keekonomiannya.
“Tantangannya adalah jangan sampai ada kenaikan Harga BBM di tahun 2022. Karena jika ada kenaikan harga, bisa berisiko kepada Pertamina sendiri sehingga harus konsisten bisa menjaga harga tetap stabil sepanjang 2022,” pungkasnya.
Tambahkan Komentar