
Readtimes.id– Kecelakaan di perlintasan kereta api cukup sering terjadi di Indonesia. Teranyar, terjadi kecelakaan pada Minggu (27/2) antara Kereta Api Dhoho relasi Blitar-Surabaya dengan Bus Harapan Jaya di Desa Ketanon, Kecamatan Kedungwaru, Tulungagung, Jawa Timur.
Kecelakaan maut tersebut terjadi di perlintasan kereta api tanpa palang pintu sekitar pukul 05.16 WIB dan menyebabkan 5 orang meninggal dunia dan belasan penumpang lain luka-luka.
Dari kesaksian warga setempat, kereta api menyambar bagian belakang bus tersebut. Pengamat Transportasi dari Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang mengatakan, kesimpulan sementara kecelakaan ini adalah kelalaian sopir bus.
“Artinya sopir bus sejatinya mengetahui bahwa kereta api akan melintas, namun memaksa melintasi rel. buktinya bus tertemper (tertabrak) pada bagian belakang,” ungkapnya.
Mayoritas kecelakaan ini terjadi karena pengendara kendaraan bermotor lalai atau tidak mendahulukan kereta api melintas. Sangat menyedihkan karena kecerobohan sopir yang menerobos perlintasan sebidang kemudian penumpang menjadi korban.
PT Kereta Api Indonesia (KAI) mencatat bahwa selama 2019 telah terjadi 260 kecelakaan yang mengakibatkan 76 nyawa melayang pada perlintasan sebidang atau jalur perlintasan langsung (JPL). Sedangkan sejak awal tahun 2020 hingga awal Oktober 2020 terjadi 198 kecelakaan.
KAI mencatat saat ini masih terdapat 1.223 JPL yang resmi, sedangkan yang tidak resmi lebih banyak yakni mencapai 3.419. Kemudian perlintasan kereta tak sebidang di Pulau Jawa dan Sumatera berupa flyover/overpass dan underpass baru berjumlah 349 titik.
Sementara data PT KAI tahun 2021 mencatat Jumlah keseluruhan perlintasan sebidang adalah 4.422 dengan mayoritas 71% perlintasan adalah tidak dijaga. Bila dibandingkan tahun 2019 sebanyak 4.642 maka JPL berkurang/ditutup sebanyak 220 titik.
“Artinya sudah baik karena terdapat penyusutan jumlah JPL, namun tetap saja kecelakaan antara kendaraan bermotor dan kereta api masih sering terjadi. Bila banyak tumbuh pemukiman baru, dapat disimpulkan perlintasan kereta api baru/liar juga bertambah karena masyarakat cenderung memilih melintas JPL liar terdekat daripada JPL resmi yang dianggap lebih jauh,” jelas Deddy.
Selain kelalaian pengendara, Deddy mengatakan perlunya pemasangan CCTV untuk tilang Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) atau tilang elektronik di JPL untuk memantau pelanggar.
Pelanggaran lalu lintas di JPL dapat ditilang karena dalam UU 22 /2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 114 menyebutkan pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pengemudi kendaraan wajib mendahulukan kereta api dan memberikan hak utama pada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.
Dalam UU 23/2007 tentang Perkeretaapian dan UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdapat kesamaan beleid keselamatan. Yakni kendaraan apapun harus mendahulukan kereta api yang akan melintas. Istilahnya dalam kereta api bukan menabrak kendaraan namun kendaraan tertemper kereta api karena punya jalur sendiri di rel yang dilanggar kendaraan lain.
“PT KAI berhak menuntut kepada siapa saja yang menghalangi jalur rel yang dilintasinya sehingga menimbulkan kecelakaan, kerusakan sarana KA dan kerugian pelayanan,” ujarnya.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Kecelakaan di kereta api baik tabrakan atau anjlok juga dinamakan kecelakaan kereta api sesuai aturan dalam UU 23/2007 tentang Perkeretaapian. Namun, jika terjadi kecelakaan antar kereta api dengan kendaraan bermotor di JPL masih menjadi perdebatan akan disebut sebagai kecelakaan kereta api atau kecelakaan jalan.
Menurut Deddy, bila merujuk pada UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 114, bila terjadi kecelakaan sangat jelas kelalaian pada kendaraan karena tidak mendahulukan kereta api melintas, sehingga lebih tepat dinamakan kecelakaan jalan.
“Ada juga yang menyalahkan pintu perlintasan tidak ditutup sehingga terjadi kecelakaan di JPL,” jelas Deddy.
Menurut Deddy, sejatinya walau JPL tidak memiliki palang pintu atau tidak dijaga, sebelum melintasi JPL pengendara kendaraan bermotor harus lebih berhati-hati jika sewaktu-waktu kereta api akan melintas.
“Logikanya mengapa di lampu merah kendaraan tertib mau berhenti, sedangkan di JPL harus ada palang pintunya supaya kendaraan mau berhenti. Idealnya dengan adanya alarm/sirene bila akan ada kereta api melintas sudah cukup disiplin kendaraan berhenti seperti halnya di lampu merah di jalan raya,” tambahnya.
Deddy juga menyoroti beberapa pemerintah daerah yang masih belum paham tentang tanggung jawab pada JPL. Pemerintah daerah masih menganggap bahwa JPL adalah tanggung jawab Pemerintah (pusat) karena PT KAI adalah tanggung jawab BUMN.
“Bahkan bila terjadi kecelakaan di JPL antar lini sektoral ada kecenderungan saling menyalahkan. Terkadang PT KAI juga disalahkan, padahal KAI hanya penyelenggara sarana KA yang tidak punya lagi tanggung jawab di JPL,” jelas Deddy.
Pada UU No 23/2007 belum dibahas mendetail, tambah Deddy, namun persoalan ini dapat dibantah di Permenhub PM No. 94/2018 tentang Peningkatan Keselamatan Perlintasan Sebidang Antara Jalur Kereta Api dengan Jalan.
Permenhub tersebut menegaskan bahwa yang paling bertanggung jawab JPL (termasuk bila ada kecelakaan) ada pada Pemerintah/Pemerintah Daerah sesuai kepemilikan kelas jalan yang terdapat JPL.
“Bila akses jalan ke pemukiman atau industri mempunyai JPL tentunya pengembang tersebut yang bertanggung jawab,” tutupnya.
8 Komentar