Readtimes.id– Belakangan, seni corat-coret dinding ramai dibicarakan. Turun tangan aparat negara dalam penghapusan karya bebas berekspresi itu dinilai berlebihan, sebab menguatkan asumsi tentang pemerintahan kita yang anti kritik.
Ya, seni mural yang kini jadi gonjang-ganjing itu seolah menjadikan suasana semakin tidak aman. Media tidak henti mengabarkan aparat menghapus karya mural dan mencari si pembuatnya. Bukankah itu sama saja menyalakan sirine di keramaian kota?
Bila mengintip ke belakang, seni mural tidak sekadar mencoret-coret tembok atau membuat garis di dinding. Lebih dari itu, seni mural menjadi media komunikasi yang membawa pesan kepada khalayak umum. Bahwa pesan kritik yang disampaikan sekiranya bisa sampai kepada yang dituju.
Ingatkah tentang Karya Seniman Antitank di Yogyakarta?
Sketsa seorang laki-laki yang kini wajahnya selalu jadi simbol perlawanan. Laki-laki itu bernama lengkap Munir Said Thalib, sang aktivis HAM. Terbunuh di udara akibat zat kimia menyatu dengan darah hingga mengaliri tubuhnya.
Karya hasil Seniman Antitank populer disebut sebagai seni perlawanan masyarakat sipil di Indonesia. Dari sejarah untuk melahirkan sejarah.
Bukan hanya soal perlawanan, karya mural melahirkan perubahan. Serikat Mural Surabaya (SMS) pernah membuat proyek luar biasa. Kerap kali mereka melakukan perjalanan ke kampung-kampung kumuh untuk menggambar di dinding.
Beberapa kampung kumuh disulap jadi kampung penuh warnah yang memiliki daya tarik tersendiri. Salah satunya adalah Kampong Pulau Santen, Pusan, Banyuwangi. Dengan tangan mereka, Kampong Pulau Santen disulap menjadi kampung wisata menarik untuk dikunjungi.
Tak hanya itu, mural hasil karya kolaborasi Pemprov DKI Jakarta bersama iMural, BRI, dan Universitas Paramadina pada 2019 menjadi refleksi “Wajah Baru” kota Jakarta. Dengan membawa pesan agar merubah paradigma pelebaran jalan menjadi jalan untuk kaki (pejalan kaki) menjadi cerminan bahwa karya seni mural tidak se-kriminal yang dipikirkan sampai harus mencari siapa gerangan yang menggambar di tembok-tembok tak bersalah itu.
Editor: Ramdha Mawaddha
Tambahkan Komentar