Readtimes.id—Praktik perdagangan lintas negara berbasis elektronik atau cross border menyimpan bahaya yang berpotensi mematikan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) lokal.
Cross border merupakan perdagangan berbasis elektronik atau e-commerce dengan layanan pengiriman tujuan ke luar negeri dan sebaliknya.
Praktik cross border pada e-commerce dianggap membunuh UMKM karena menjual dengan harga yang sangat murah. Pasalnya, pada e-commerce domestik tidak ada splitting atau memecah transaksi pembelian barang impor agar bebas bea masuk. Impor barang dilakukan melalui bea dan cukai dan seluruh penjual berasal dari dalam negeri sehingga ada kontribusi ke pendapatan Indonesia.
Sedangkan e-commerce cross border memungkinkan melakukan splitting. Impor barang bisa langsung dilakukan dari penjual luar negeri yang bertransaksi langsung dengan konsumen domestik sehingga transaksi yang terjadi sama sekali tidak berkontribusi ke pendapatan dalam negeri. Faktor-faktor tersebut kemudian menjadi alasan konsumen di Indonesia lebih memilih e-commerce ketimbang UMKM.
Baca Juga : Digitalisasi Selamatkan Sektor Usaha di Kala Pandemi
Melihat hal tersebut, pengamat ekonomi digital Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, sebelum berfokus pada dampak cross border, perlu dibahas terlebih dahulu karakteristik dari pelaku ekonomi di sektor e-commerce. Ia pun mengungkapkan ada tiga karakteristik e-commerce yang membuat praktik cross border ini semakin pesat.
Pertama, karakteristik platform e-commerce adalah meningkatkan nilai valuasi yang ditunjukkan oleh semakin banyaknya pelanggan akhir, karena mereka butuh pendanaan. Caranya adalah memberikan pilihan barang-barang murah kepada konsumen akhir. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Karakteristik kedua adalah karakteristik konsumen Indonesia yang cenderung price oriented consumer. Artinya, konsumen kita lebih cenderung melihat harga sebagai faktor pembelian barang, terlepas darimana asal barang tersebut.
Karakteristik ketiga adalah dinilai dari produsennya. Produsen dalam negeri masih bersifat labor intensif, artinya adalah harga barang yang dihasilkan masih besar. Harga besar ini diperuntukkan untuk membiayai tenaga kerja. Selain itu, sifatnya yang mikro membuat produsen masih terbilang kecil skala ekonominya jika dibandingkan dengan negara lain, khususnya China.
“Akhirnya harga menjadi relatif mahal, sedangkan di sisi lain, produsen dari luar negeri trutama China memiliki skala ekonomi yang besar. Harga mereka sangat bisa bersaing, ditambah biaya pengiriman dari luar negeri lebih murah dibandingkan biaya kirim antar daerah di dalam negeri,” jelasnya secara tertulis kepada Readtimes.id, Senin (11/10).
Dengan ketiga karakteristik tersebut, dapat dibayangkan praktik cross border di Indonesia meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, tidak hanya praktik cross border tapi barang-barang yang dijual di e-commerce melalui toko di Indonesia juga berasal dari barang impor.
Hal ini kemudian menjadi ancaman bagi UMKM di Indonesia. Praktik cross border membuat UMKM kalah bersaing di masyarakat Indonesia dengan karakteristik price oriented consumer.
“Jadi e-commerce kita memang dipenuhi oleh barang impor. Bagi UMKM ya sangat menyiksa sekali. Mereka kalah saing dengan produk impor baik melalui cross border ataupun dari dalam negeri tapi barangnya dari impor,” ungkapnya.
Untuk mencegah semakin parahnya dampak dari praktik cross border ini, Huda menyarankan agar adanya perbaikan sistem pendistribusian logistik di Indonesia.
“Perbaiki dahulu logisitik kita. Jangan sampai biaya kirim dari luar negeri bisa lebih murah dari pengiriman dalam negeri. Perbaiki infrastruktur, hapus dan berantas pungli, dan kasih diskon pengiriman,” tuturnya.
Selain itu, ia juga menyarankan pelaku UMKM harus bisa meningkatkan skala usahanya agar bisa bersaing. Tingkatkan kapasitas produksi atau menjual produk yang tidak bisa diproduksi di negara lain.
1 Komentar