Readtimes.id– Sejatinya musik sudah jadi pilihan untuk menghilangkan suntuk dan segala aura negatif dalam diri. Hal itu ditunjang kecanggihan teknologi yang begitu pesat mengimbangi pertumbuhan manusia, sehingga segalanya semakin mudah dan mengurangi biaya.
Jika dulu harus menabung agar bisa membeli kaset atau walkmen bahkan menunggu penyiar radio memutarkan lagu favorit, sekarang dengan modal kuota dan gerakan jadi semua bisa mendengarkan musik favorit melalui satu aplikasi saja.
Kemunculan aplikasi musik streaming seperti Spotify, Joox, Soundcloud dan sejenisnya tidak hanya mempermudah pencarian untuk mendengarkan musik. Aplikasi semacam ini juga memudahkan para pekerja seni di bidang musik dalam mempublikasikan karya mereka hingga ke seluruh penjuru dunia.
Dengan begitu, akan semakin banyak musisi yang dahulu kesulitan akan menyebarluaskan karya kini terbantu oleh kehadiran aplikasi streaming musik.
Di Indonesia misalnya, kehadiran Spotify begitu jelas terlihat ketika munculnya nama musisi seperti Pamungkas dengan singlenya yang bertajuk To the Bone berhasil mencapai angka 100 juta pendengar di Spotify. Tidak hanya Pamungkas, nama Andmesh, Fiersa Besari dan musisi lainnya pun tampaknya sangat terbantu dalam memublikasiakan karya mereka.
Akan tetapi, di balik keberhasilan sejumlah musisi ada cerita lain dari mencuatnya aplikasi streaming semacam Spotify, dengan kemudahan dalam mengakses musik juga memudahkan tangan-tangan tidak bertanggung jawab melakukan pembajakan. Hal semacam ini bahkan akan melanggar hak cipta dari pemilik musik.
Munculnya berbagai aplikasi musik streaming yang menyediakan ribuan bahkan jutaan lagu dari berbagai penjuru dunia secara bersamaan dapat menimbulkan masalah hukum terkait pelanggaran hak cipta. Hal ini dikarenakan pertumbuhan perusahaan penyedia layanan streaming musik yang begitu pesat tidak diimbangi dengan sistem pengawasan yang baik. Semakin hari, semakin banyak karya-karya yang terus diciptakan manusia, baik itu dalam industri, teknologi dan tidak terkecuali dalam bidang seni seperti tari sastra, film, dan musik baik itu dalam format mp3 atau mp4.
Dari penelitian yang dilakukan Muh. Habibi Akbar Rusly dan Mukti Fajar ND dari Media of Law and Sharia mencatat pelanggaran hak cipta atas sebuah lagu pada aplikasi musik terjadi pada tahun 2017 silam yang dilakukan Hanin Dhiya Citaningtyas yang melakukan remake (aransemen ulang) terhadap lagu dari grup band Payung Teduh.
Berangkat dari remake lagu tersebut kemudian Hanin Dhiya tertarik untuk menjual suara merdunya pada aplikasi musik Spotify dan i-tunes tanpa seizin management Payung Teduh. Hal tersebut menunjukan masih terdapat kelemahan dalam perlindungan hukum yang dalam kebijakan penyebaran Hak Cipta yang diberikan oleh aplikasi streaming musik Spotify.
Masalah hak cipta dalam sebuah karya sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 yang bertujuan untuk melindungi para pemilik sebuah karya seni. Akan tetapi di dalam Undang-Undang Hak Cipta tidak termuat aturan khusus tentang pengertian lagu atau musik, namun lagu atau musik adalah sebagai bagian dari karya yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta sebagaimana terdapat dalam Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang Hak Cipta.
Namun, di Indonesia sendiri Spotify belum memiliki label atau publisher yang secara langsung bekerja sama dengannya. Sehingga untuk memasukkan lagu ke Spotify, para musisi harus punya label atau publisher yang berwenang mengelola hak cipta atas lagu. Hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan secara hukum terhadap para pencipta atau pemegang hak cipta.
Hal di atas kemudian berkaitan dengan royalti atau sebuah nilai yang berhasil dicapai para pemilik lagu yang telah mempublikasikan karya mereka ke dalam platform streaming musik.
Adapun runutan penjelasannya adalah sebagai berikut:
- Proses pemberian royalti berupa bagi hasil akan dibayarkan kepada pihak musisi atau penyanyi yang telah mendaftarkan akunnya di Spotify, sistem pencairan royalti bagi hasil dilakukan dengan tahapan Spotify akan memberikan royalti dan laporan royalti kepada digital aggregator atau yang disebut dengan pembeli lisensi hak cipta yang bekerja sama dengan Spotify terlebih dahulu.
- Adapun besaran royalti yang diberikan oleh Spotify terhadap para musisi berbeda-beda. Pada umumnya akan ditentukan berdasarkan pertimbangan pendapatan perkapita negara tertentu. Misalnya di Indonesia, royalti yang diberikan oleh Spotify dalam setiap 1x stream video yaitu sebesar 0,004533 euro. Pembayaran ini akan dilakukan setiap bulannya selama lagu tersebut terdaftar dan memiliki pemutaran pada aplikasi Spotify.
- Selanjutnya, digital aggregator akan memberikan royalti yang telah dipotong client share rate sebesar 0,7 dari total penghasilan royalti berdasarkan kesepakatan yang telah disetujui antara digital aggregator Spotify dan digital aggregator artis. Pembayaran dilakukan pertiga bulan oleh digital aggregator dikarenakan pertimbangan besaran nominal mengingat tidak semua artis yang bekerja sama merupakan artis yang terkenal.
- Royalti yang telah diberikan kepada digital aggregator artis selanjutnya akan dibagi kepada artis atau musisi (Pencipta). Pembagian antara digital aggregator artis dan artis juga mengikuti kesepakatan perjanjian awal. Sebagai contoh Euforia Music Publisher sebagai induk perusahaan dari Digital Euforia yang menjadi narasumber dalam penelitian ini memberikan royalti sebesar 70% kepada musisi dari total royalti yang dikumpulkan. Pembayaran dilakukan setiap tiga bulan sekali dalam satu tahun.
Pertanyaannya, bagaimana dengan fenomena cover lagu seperti yang dilakukan Hanin Dhiya dan penyanyi lainnya. Kemanakah royalti itu menuju, ke pemilik hak cipta atau sebaliknya?
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik sederhananya menerangkan bahwa bagi siapa saja yang menggunakan karya seseorang dalam hal komersil maka harus memberikan royalti kepada sang pemilik hak cipta. Sayangnya, dalam kasus cover lagu milik orang lain tidak secara jelas dirunutkan dalam UU tersebut.
Hal lain bahwa, layanan streaming musik yang memungkinkan orang lain membuat cover lagu milik orang lain ternyata memiliki aturannya sendiri. Kemudian menjadi sebuah tantangan bagi pemerintah untuk menjalin perbincangan kepada penyedia layanan streaming yang notabenenya merupakan perusahaan multinasional.
Editor: Ramdha Mawaddha
2 Komentar