RT - readtimes.id

Menyambut Hari Kemenangan di Bumi Bupolo

Readtimes.id– Jaraknya 156 kilometer dari Kota Ambon. Bisa ditempuh melalui jalur laut maupun udara. Bumi Bupolo, itu lah sebutan untuk Pulau Buru oleh masyarakat setempat untuk tanah kelahirannya. Pulau terbesar ketiga di Kepulauan Maluku, setelah Pulau Halmahera di Maluku Utara dan Pulau Seram di Maluku Tengah.

Pulau yang didominasi wilayah pegunungan dan perbukitan ini, kini tengah membangun dirinya melalui pemekaran kabupaten baru yakni Kabupaten Buru Selatan atau dikenal dengan nama Bumi Fuka Bipolo. Selain dikenal sebagai penghasil minyak kayu putih terbesar di Nusantara, juga dikenal sebagai saksi bisu sejarah kelam bangsa Indonesia pada masa orde baru. Menjadi tempat pembuangan para mantan tahanan politik, dan  mereka yang dituding sebagai bagian dari PKI yang tak sedikit pasca reformasi justru memilih untuk menetap, berkeluarga, bahkan meninggal dan dimakamkan di sana. 

Pulau yang juga sekaligus dikenal menjadi tempat  seorang sastrawan besar Tanah Air, Pramoedya Ananta Toer, menuliskan maha karyanya, Bumi Manusia, yang menjadi salah satu seri dari kumpulan roman sejarah Tetralogi Pulau Buru yang dikenal di Indonesia juga dunia.

Didominasi oleh penduduk yang beragama Islam, serta sebagian wilayah yang masih dinobatkan sebagai perkampungan adat, membuat perayaan Hari Raya di Pulau Buru memiliki perbedaan waktu, baik Idul Fitri maupun Idul Adha di berbagai desanya.

Di desa Elfule misalnya, merupakan sebuah desa adat di Kabupaten Buru Selatan yang senantiasa memulai waktu puasa dan merayakan lebaran tiga hari  lebih awal dari penentuan 1 Ramadhan maupun 1 Syawal oleh pemerintah,  dengan menggunakan sistem penghitungan kalender kuno yang dilakukan oleh Imam setempat, yang berasal dari Pulau Ambalau– sebuah pulau yang letaknya 68,2 km di tenggara Pulau Buru, masyarakat setempat menentukan awal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Pemanggilan imam dari pulau Ambalau sejatinya tak terlepas dari sejarah pembukaan wilayah desa-desa adat di Buru Selatan, yang dilakukan pertama kali oleh orang Ambalau termasuk desa Elfule.

Meskipun terdapat perbedaan waktu dalam  pelaksanaan Hari Raya dengan beberapa desa lainnya di Pulau Buru, pada dasarnya tradisi masyarakat menjelang Hari Raya Idul Fitri tak jauh berbeda antar desa. Membersihkan makam leluhur di akhir Ramadhan, membaca  doa di tiap-tiap rumah warga untuk keluarga yang telah meninggal dunia, adalah rutinitas yang selalu dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai pengingat mereka yang telah tiada. Bahkan di desa adat  setempat,  kepercayaan bahwa mereka yang telah tiada masih memiliki peran besar dalam kehidupan keluarga yang ditinggalkan di dunia, masih dipegang teguh hingga sekarang.

Tradisi kirim doa untuk para leluhur di sebuah rumah warga.

Selanjutnya adalah tradisi membakar  damar atau pelita di sepanjang jalan -jalan menuju rumah warga ketika malam Lailatul Qadar, tak jarang masih dilakukan oleh warga setempat. Pembuatan pohon hadiah sebagai peringatan malam Tujuh Likur ( dua puluh tujuh),  yakni dengan menggantung ketupat dan snack-snack ringan kesukaan anak-anak di sebuah bambu atau kayu yang diletakkan di halaman masjid atau rumah yang dilakukan secara gotong-royong oleh warga dalam tradisi yang disebut “Manggurebe Buah” , juga adalah momen menjelang lebaran yang paling ditunggu oleh masyarakat di desa Wamsisi misalnya.

Tradisi Manggurebe Buah oleh warga di desa Wamsisi di Buru Selatan

Selain itu tak jauh berbeda dengan tradisi di daerah lain di Tanah Air, pembuatan kue kering dan makanan khas juga tak luput dilakukan oleh para mama, untuk melengkapi santapan Hari Raya. Papeda kuah ikan kuning,  tumis daun kasbi ( daun singkong ), berbagai olahan hotong (sejenis gandum), kue Suami ( kue berbahan dasar ubi yang diparut dan dikukus dengan parutan kelapa dan gula merah ), ditambah  dengan segarnya sambal colo-colo, adalah hidangan yang rasanya akan sangat mudah dijumpai hampir di setiap rumah warga saat Lebaran.

Kue Suami berbentuk kerucut berwarna putih menjadi salah satu menu hidangan warga saat lebaran

Sebagai daerah yang pernah didera konflik antar agama pada tahun 1999 tersebut,  perayaan Hari Raya umat beragama  di sana, juga tak jarang menjadi ajang silaturahmi untuk menghidupkan kembali api toleransi di daerah yang hingga kini masih menampilkan tarian perang Cakalele, dalam berbagai pesta adat dan pemberian ucapan selamat datang.

Baca Juga : Tradisi Ma’burasa dan Ma’tumbu Jelang Hari Raya

Ona Mariani

9 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: