
Readtimes.id- Terang (49) warga Desa Balieng Toa, Kecamatan Sibulue, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan terlihat sibuk di dapur membuat Buras dan Tumbu. Tradisi kuliner membuat burasa dan tumbu tetap dipertahankan hingga saat ini. Saat membuat kuliner tersebut, terlihat anggota keluarga, tetangga dan kerabat ikut membantu. Sehingga boleh dikatakan proses pembuatannya merupakan contoh sikap gotong royong yang dilakukan. Selain gotong royong kerap dilakukan dengan urusan beras untuk pembuatannya. Setelah selesai dan matang hasilnya akan dibagikan sesuai kebutuhan dan banyaknya anggota keluarga.
Tidak lengkap jika Hari Raya Idul Fitri di Bone Sulawesi Selatan tidak ada Burasa dan Tumbu, makanan khas dan unik untuk lebaran. Dua atau sehari jelang lebaran, warga muslim di Bone sibuk dengan aktivitas membuat burasa dan tumbu. Kedua makanan ini dibungkus dengan daun pisang. Sebelumnya, daun pisang di jemur terlebih dahulu agar lentur dan tidak mudah robek.
Menurut Terang, bahan utama burasa berasal dari beras biasa, sedangkan tumbu berasal dari beras ketan. Terlihat berbeda dan proses pembuatannya dilakukan secara bersamaan. “Proses pembuatan burasa dan tumbu akan dilakukan dengan menggunakan kayu bakar atau arang. Dimasak paling lama 6 jam hingga 8 jam untuk menghasilkan burasa dan tumbu yang beraroma khas bugis.Burasa sengaja tidak dimasak dengan kompor gas, namun tradisi orang bone masih memasak dengan kayu bakar atau arang. Agar rasa tetap terjaga dan tetap bertahan selama maksimal tiga hari tanpa dipanaskan. Proses pemasakan yang lama untuk mendapatkan kualitas rasa dan semakin lama dimasak semakin rasanya tetap terjaga,” ujarnya kepada readtimes.id Selasa, 11 Mei 2021
Beras yang sudah siap, lalu dibungkus daun pisang dibentuk seperti model bantal, persegi panjang. Beras berbumbu santan dalam daun pisang ini kemudian diikat serapi mungkin sehingga terasa padat. Kadang kala, dua atau tiga tangkup buras diikat menjadi satu, setelah itu direbus. tidak semua bisa mengikat buras. Kadang model buras bisa berubah bentuk, kalau tidak mahir. Bisa juga pembungkusnya sobek, hingga beras yang didalamnya jadi keluar dan berantakan.
Seni dan romansa mengikat buras dan tumbu sangat diperlukan. Secara turun temurun, mengikat buras dan tumbu menjelang Hari Raya Idul Fitri juga bisa membangkitkan kenangan bagi seseorang. Tak jarang, seorang ibu bisa ngobrol banyak dengan anaknya, saat moment mengikat burasa. Burasa dibungkus dengan daun pisang, tiga sampai lima burasa akan digabung dan diikat menjadi satu burasa yang utuh. Sedangkan tumbu akan disusun lalu diikat. Sehingga rasa yang dibentuk merupakan satu kesatuan yang sifatnya kultural. Burasa ala Bugis Bone, berpengaruh pada ingatan tentang kampung, sampai ingatan untuk orang tua yang ada pada saat proses pembuatannya.
Bukan hanya di Kabupaten Bone, tradisi ma’burasa dan ma’tumbu sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya pada masyarakat Sulawesi dan Sulawesi Selatan khususnya jelang hari Raya Idul Fitri. Ma’burasa dan ma’tumbu adalah istilah dalam bahasa lokal yang berarti kegiatan membuat Burasa atau tumbu yang terbuat dari beras atau beras ketan dicampur santan dan diberi sedikit garam. Dibentuk dan dibungkus dengan daun pisang lalu diikat dengan pola yang khas lalu dimasak dengan cara dikukus. Beras ketan digunakan untuk tumbu dan beras untuk burasa. Sedangkan penggunaan daun pisang agar tidak terurai saat proses pemasakan, serta aroma santan tetap terjaga. Burasa dan Tumbu, dengan dililit atau menumbuk dengan padat.
Keseruan dan kebersamaan aktivitas ma’burasa dan ma’tumbu akan menjadi geliat kesatuan tradisi akan membuat kita rindu sehingga keinginan kembali menjejakkan kaki ke kampung halaman semakin menjadi-jadi. Dari mempersiapkan bahan hingga membungkusnya, membutuhkan waktu yang tidak sebentar sehingga anggota keluarga bisa saling menjalin hubungan yang erat dan rasa kekeluargaan semakin terasa. Merupakan makanan khas hari raya dari nenek moyang secara turun temurun. Burasa dan Tumbu pun bisa disajikan dan dimakan bersama opor ayam dan tape.
Beragam jenis makanan khas saat Hari Raya Idul Fitri memang tak jarang punya romansa tersendiri. Setiap orang yang mudik, hampir pasti merindukan kuliner khas daerahnya masing-masing. Silaturahim antar keluarga, tetangga, kawan-kawan dan handai taulan selalu meriah dan lengkap dengan kulinernya, yang tak mudik pun, punya cara tersendiri untuk membangkitkan kenangan indah dan berbagi kebahagiaan di hari yang fitri.
1 Komentar